Posted by: yudomahendro | November 3, 2010

Menyambut Kongres XXVII HMI : Bertolak untuk Arah Baru Gerakan HMI UNJ (dan Sekitarnya)

Akhir tahun ini begitu terasa berbeda bagi penulis dan mungkin semua teman-teman HMI UNJ. Ditengah begitu kerapnya bencana alam yang memilukan hati, kita tidak bisa menyembunyikan kegembiraan kita tentang satu hal ini. Ya, Kongres HMI, ritual 2 tahunan ini merupakan acara yang begitu meriah bagi semua kader HMI se nusantara, apalagi pelaksanaan kongres kini letaknya tidak jauh dari kampus kita yaitu di Depok. Untuk saya ini adalah pengalaman yang luar biasa, menjelang akhir masa studi saya berkesempatan untuk hadir dan terlibat langsung dalam atmosfir kongres yang begitu hingar bingar. Walaupun ada juga terbesit kekhawatiran, karena begitu banyak tamu (kawan-kawan) dari daerah yang mungkin akan banyak perlu dilayani sekaligus, karena pun kalau ke daerah penulis selalu merepotkan dan dilayani. Utang yang harus dibalas walaupun dengan utang juga.

Namun bukan hanya hingar bingar itu yang menarik untuk di potret, penulis berkesempatan juga untuk lebih dekat melihat ‘dapur’ PB HMI dalam mengelola kegiatan. Sangat disayangkan, masih banyak celah yang harusnya tidak lagi diulangi bagi para aktivis yang sudah berlevel nasional. Hal yang sangat mencolok adalah ketidakprofesionalan para panitia, baik munasko maupun kongres HMI. Namun ketika kemarin malam penulis  menyaksikan langsung forum munasko penulis baru paham, penulis dapat menemukan jawaban kenapa kongres dan munasko yang berlevel nasional namun tidak dikelola secara profesional. (untuk jawabanya silahkan hadir dalam kongres ini bergabung bersama ROMLI).

Motivasi Berprestasi Bukan Motivasi Menjabat

Inilah yang mungkin kita harus renungi, di HMI yang berlaku (kalau mengutip pendapat Yudi Latif) adalah “logika kekuatan” bukan “kekuatan logika”. Semua panitia ternyata larut dalam kohesifitas tim sukses yang akan maju menjadi ketua umum PB HMI/KOHATI.  Mereka lebih tertarik beradu kuat dalam segi dukungan dari pada memunculkan prestasi kerja yang terbaik untuk para generasi penerus. Aneh kenapa budaya feodal ini muncul lagi, kader HMI berubah menjadi “monster” yang sangat haus dan menggila untuk mendapatkan sebuah posisi-posisi tertentu sebagai bentuk eksistensi kekuatan dirinya dari segi finansial, jejaring senior, serta pendukung dan hampir tidak ada kekuatan akal budi. Yang berlaku adalah bahasa pasar ‘lu jual gw beli’ siapa yang lebih berani menawar dengan harga tinggi itulah yang kami dukung. Budaya yang sangat tidak konstuktif.

Fenomena ini terjadi begitu massifnya dan juga sudah menjadi rahasia umum. Gerakan HMI telah mengkristal menjadi gerakan pragmatis yang tidak lagi menghargai akal budi, kalupun dihargai itu hanya sebagai muslihat untuk mengelabui orang terutama juniornya. Sebegitu parahkah? Semoga saja tidak dan semoga saja penulis salah. Lepas dari segala pesimisme di atas, penulis sebagai orang yang masih berkecimpung di HMI merasa perlu untuk memperjelas kembali khitoh perjuangan HMI, HMI sebagai organisasi mahasiswa, organisasi kader, dan organsiasi perjuangan. Kita tidak boleh dengan begitu saja melupakan nilai-nilai ke-HMI-an yang telah kita dapatkan di LK-1. Belajarlah ikhlas, belajarah independen, dan teruslah belajar untuk berprestasi, bagi penulis itu adalah nilai-nilai yang harus disegarkan kembali dalam ingatan kita.

Penulis berusaha jangan sampai gelombang badai pragmatisme muncul di tengah-tengah kader HMI, khususnya HMI UNJ dan sekitarnya yang masih merupakan tanggungjawab penulis sebagai orang yang masih berkecimpung di dunia Ke-HMI-an di kampus.  Dan untungnya penulis tidak pernah berkesempatan untuk di sumpah selama menjabat di HMI. Ini adalah masalah pelik, kita dibiasakan untuk belajar menjadi orang yang  munafik. Menggembar-gemborkan idalisme ajaran Tuhan dan sekaligus menghina sumpah sebagai anggota HMI dengan berlaku yang tidak Islami. Tugas ini adalah tugas yang berat, untuk menahan sahwat being (menjadi) dengan cara-cara yang instan. Kita disilaukan oleh kesuksesan ‘keduniaan’ para senior dan parahnya ingin menggapai itu dengan menghalalkan segala cara.

Namun kawanku, sadarlah. Bahwa dalam era persaingan ini kita akan semakin kehilangan identitas historis. Siapa pun kalian, dari manapun kalian, yang akan dinilai adalah bagaimana kinerja kalian. Ini adalah momentum bagi siapapun untuk bisa meningkatkan kapasitas diri tanpa harus menunjukan identitas (ke-HMI-an) kita. Yakinlah motivasi berprestasi sebagaimana yang dirumuskan oleh McCelland akan menjadi sumber utama kemajuan seseorang, hilangkanlah segala egoisitas identitas kita di HMI, terutama berkaitan dengan egoistias kemahasiswaan. Karena potensi ini telah diramalkan oleh para founding fathers HMI, dengan mengecilkan hufruf m dalam logo HMI. Besarkanlah H himpunan kita, besarkanlah I Islam kita, dan tidak perlu membesarkan m kita. Janganlah kita terjebak dengan dunia entertainmen yang sudah begitu akut menjangkiti aktivis mahasiswa khususnya HMI; lebih senang kalau kerja-kerja kita yang tidak seberapa itu menjadi sorotan untuk mendapatkan popularitas. Oleh karenanya rasanya perlu untuk mengutip firman Allah yang berbunyi ; bekerjalah kamu maka Allah, Rasul, dan orang-orang yang beriman yang akan menilainya. Saatnya belajar untuk Ikhlas bukan terjebak dalam budaya seleb.

Menafsirkan Ulang Potensi Ke-Jakarta-an Kita

Sadar atau tidak, kita para kader HMI UNJ diuntungkan oleh keberadaan kita yang berada di pusat pemerintahan dan juga pusat perekonomian. Kita telah dibiasakan untuk hidup serba keras, hanya sedikit kenal solidaritas, atau bahkan larut dalam budaya glamor sinetron yang juga di-copy paste oleh para saudara-saudara kita di daerah. Sebagai aktivis HMI, penulis sangat merasakan perbedaan yang cukup mencolok dari setiap daerah yang ada di nusantara. Dari beberapa cabang yang pernah penulis kunjungi maka mereka sadar atau tidak telah memiliki kekhasan tersendiri mengenai tradisi perkaderan. Inilah yang mungkin disebut kearifan lokal atau mungkin hanya ekspresi kolektif dalam mersepon modernisasi.

Lalu bagaimana dengan Jakarta? Kota impian para aktivis. Baik secara formal-organisatoris yaitu mimpi untuk menjadi salah satu pengurus besar atau lebih jauh secara psiko-ekonomis ingin menjadi salah satu pejabat di Senayan atau eksis diberbagai kantor kementrian lengkap dengan fasilitasnya. Kader-kader HMI Jakarta secara pskiologis menjadi kader yang cepat puas, karena mereka sangat dekat para senior yang berada dalam puncak karirnya. Contohnya terlihat dalam momentum ramadhan, hampir setiap hari kita memiliki agenda berbuka puasa di rumah para mentri, anggota DPR, dan pejabat tinggi lainnya. Oleh karenanya sebagian besar aktivis HMI Jakarta lebih suka menggantung ke atas dari pada mengurusi urusan grass root. Jadi mereka melayang tanpa menginjak tanah, sangat mungkin mereka larut dalam kebanggan karena dekat dengan para senior-senior itu dengan harapan besar akan menggantikannya. Sehingga wajar muncul fenomena piramida penghisapan manusia dengan manusia yang digambarkan oleh Berger. Mereka berjibaku, sikut-menyikut demi sebuah mimpi yang melenakan, yang terkuatlah yang menang, senior dengan mudah menundukan sang junior demi perebutan hal yang sama. Sehingga adalah hal yang wajar ketika dalam HMI Jakarta terlihat begitu banyak faksi yang satu sama lain hubungannya sangat antagonis.

Penulis mengajak bagi kita kader HMI yang beraktivitas di Jakarta untuk meninjau ulang potensi ke-Jakarta-an kita. Kembali pada pembahasan awal, bahwa mereka yang sukses adalah orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi, sehingga dari hari kehari mereka berkomitmen untuk meningkatkan kapasitas mereka. Sehingga kita tidak perlu meresa risih jika tidak populis atau tidak mendapat penghargaan, pada akhirnya kerja kita akan indah pada waktunya. Rasanya penulis perlu untuk menceritakan ulang cerita sang mentri Pendidikan kita, Muhammad Nuh. Pa Suprijanto (PR IV UNJ) yang pernah juga satu cabang (cabang Surabaya) dengannya menceritakan bahwa Muhammad Nuh adalah orang yang berdedikasi tinggi, Ia tidak mengincar jabatan-jabatan stuktural di HMI, dia lebih terpanggil untuk aktif di LAPENMI (lembaga pendidikan mahasiswa Islam) lembaga kekaryaan yang berada di bawah koordinasi cabang. Dalam aktivitasnya di LAPENMI yang tidak banyak disorot dan dianggap tidak bergengsi, dia mampu untuk berinovasi dalam mengembangakan pendidikan. Sehingga dengan pengalaman dan kompetensinya itu Ia diamanahkan untuk menjadi rektor ITS dan kini menjadi mentri pendidikan nasional.

Sinergi Untuk Dedikasi : Arah Baru Gerakan HMI UNJ

Dengan berbagai latar kondisi yang telah melingkupi kehidupan kita tentunya kita perlu membuat suatu rumusan strategi agar eksistensi organisasi kita tetap bertahan dengan mempertahankan substansinya. Sejak awal penciptaan manusia di muka bumi tentunya Allah telah memberikan berbagai potensi untuk kita sebagai modal untuk mengarungi kehidupan ini. Dan hebatnya setiap manusia memiliki kecendrungan berbeda satu sama lain. Tidak pernah ada manusia yang sama sekali identik, bahkan dua orang kembar sekalipun. Begitupun dalam ber-HMI, berbagai macam otak dengan berbagai latarbelakang keilmuan, keluarga, dan lingkungan yang bergabung menjadi satu. Sepengalaman penulis sebagai MOT, sejak awalnya para mahasiswa tertarik masuk HMI karena alasan Keislaman. Oleh karenya Islam tidak pernah usang untuk dikaji dan diresapi, mari kita usung kembali Islam sebagai pemersatu keberhimpunan kita di HMI.

Kedepan HMI UNJ seharusnya mampu keluar dari kejumudan berfikir dan beraksi. Kita waktunya untuk mengerahkan semua potensi individu dan organisasi untuk membuat satu organisasi yang bermanfaat dan bermartabat. Bukan sekedar ajang kongkow atau sekedar organisasi batu loncatan. Namun organisasi yang visioner yang mampu memberikan solusi terhadap berbagai problematika keumatan. Secara sederhana gerakan kita adalah gerakan mengembalikan moral dan independensi kader HMI. Dalam proses ini kita dituntut memiliki pemahaman Keislaman yang baik serta memiliki kecakapan profesional yang mampu mendukung masa depan kita dalam mencari nafkah. Sudah tidak relevan lagi kita bermimpi menjadi pejabat tinggi negara, sudah saatnya kita bermimpi menjadi orang yang dirindukan dan diharapkan masyarakat, yang mampu menjadi oase ditengah tandusnya padang pasir. Dapat berlaku sebagaimana yang dimaktubkan dalam mision HMI.

Kita tidak selayaknya memberikan arahan selain menyeru kepada kebenaran dan taqwa. Di sisi lain kita dipersilahkan untuk mengembangkan potensi individual yang kita miliki, sehingga bagaikan tim paduan suara yang sedang beberapa teman lakoni, perbedaan yang diorganisir dengan baik akan memberikan kesan yang indah. Sudah saatnya kita saling mendukung dan menguatkan diri dan organsiasi sehingga pada suatu masa kita menjadi generasi yang diharapkan. Menjadi batu bata dalam konstuksi pembangunan moral bangsa ini menuju perbaikan.

Penulis tidak berkesanggupan untuk memberikan usulan untuk perbaikan HMI di tingkat nasional, karena memang penulis belum pernah merasakan jenjang perkaderan sampai tingkat itu. Namun, penulis hanya mampu berharap agar Kongres ke 27 ini menjadi titik balik gerakan HMI. Pemimpin yang terpilih mampu menjalankan amanah yang begitu berat ini. Membawa perubahan yang signifikan bagi bangsa ini. Semoga. Selamat Berkongres..

Pondok Cabe, 3 November 2010


Leave a comment

Categories