Posted by: yudomahendro | December 17, 2011

Gerak Perkotaan dan Kelas Menengah yang ‘Genit”

Tulisan ini hanyalah upaya untuk menjelaskan fenomena yang sedang berkembang kini dalam kacamata sturktualisme. Inspirasi ini muncul ketika mendapatkan informasi dari kuliah umum yang disampaikan oleh Vedi Hadiz (Murrdock University) dengan tema “New Islamic Populism in Egypt, Turkey and Indonesia” di FISIP UI pada awal November 2011. Analisa tersebut membawa pada wawasan yang berbeda dalam melihat fenomena sosial dengan perspektif ekonomi politik. Sehingga adakan didapatkan fenomena umum atau dalam tradisi Durkheimian disebut dengan ‘social fact’. Dengan begitu akan diketahui ‘arus tak nampak’ yang mempengaruhi gejala sosial yang sedang berlangsung. Perlu juga disampaikan kata ‘genit’ di sini, diambil dari hasil diskusi penulis dengan Lody Paat pengamat pendidikan dari UNJ dua hari yang lalu.

Kegenitan dalam Memenuhi Pendidikan Anak

Kalau kita amati khususnya di kota kota besar ada banyak perubahan yang cukup mencolok antara pra  dan pasca reformasi. Kebebasan telah membawa pertumbuhan kota menjadi lebih pesat sekaligus semrawut. Kesempatan berusaha yang semakin terbuka memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi masyarakat dalam bidang ekonomi. Ekonomi berbasis jasa telah berkembang pesat, terutama dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Dalam bidang pendidikan misalnya, trend sekolah berstandar internasional menjangkiti sekolah-sekolah umum, di sisi lain muncul pula sekolah-sekolah swasta yang membawa lebel ‘agama’ untuk mempertegas sistem pegajaran mereka. Bukan hanya itu saja, pada sektor pendidikan, semakin banyak pula penyediaan jasa pendidikan non formal seperti; bimbingan belajar, sekolah musik, sekolah seni, serta homescholling. Pada bidang kesehatan dapat dilihat dengan semakin banyaknya rumah sakit swasta dengan fasilitas mewah dan pelayanan yang memuaskan. Menurut pengamatan penulis gejala ini merupakan hal yang relatif baru. Oleh karenanya menarik untuk dibahas, apa gerangan yang menyebabkan?

Pertanyaan di atas akan dijawab dengan menjelaskan menguatnya kelas menengah baru di perkotaan. Hal ini dipahami karena atmosfir reformasi memberikan peluang untuk melakukan mobilitas sosial pun semakin tinggi bagi seluruh masyarakat. Peluang ini dimanfaatkan oleh individu-individu yang berpendidikan tinggi untuk terserap dalam sistem ekonomi kapitalistik. Ciri mereka antara lain memiliki pendapatan yang cukup tinggi dan bekerja pada sektor-sektor formal. Kehadiran mereka yang semakin massif juga menjadi lahan subur bagi developer perumahan dipinggir-pinggir Jakarta untuk terus menyediakan rumah-rumah dengan menggusur lahan-lahan pertanian dan perkebunan. Merekalah yang diidentifikasi menjadi konsumen dari produk-produk jasa yang disediakan di kota.

Arus utama tindakan sosial mereka dalam bahasa Weber adalah nilai ‘prestis’. Sebagai kelompok masyarakat yang memiliki penghasilan lebih, mereka terhubungkan dengan komunitas yang sama. Dalam upayanya mengedepankan eksistensinya, mereka memperjuangkannya dengan pemenuhan kebutuhan tersiser atau barang dan jasa mewah. Sehingga tak heran dalam penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis tentang taman kanak-kanak, biaya pendaftaranya saja cukup besar, berkisar antara 8-20 juta rupiah. Harga yang luar biasa untuk kelas menengah ke bawah,  belum lagi biaya pendidikan bulanan yang juga cukup mahal. Bukan hanya itu, pulang-perginya sang anak ternyata ditunggu oleh satu mobil lengkap dengan supirnya. Sehingga dapat kita bayangkan berapa besar pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh kelas menengah hanya untuk pendidikan anak!.

Tidak cukup sampai di situ, rutinitas yang cukup padat di sekolah-sekolah formal dianggap belum cukup. Oleh karenanya, dalam upaya mereka menciptakan anak yang memiliki karakeristik yang khas dan prestisius diperlukan pendidikan non formal lainnya. Ketakutan yang besar akan masa depan anak dalam persaingan global yang semakin ketat menbuat mereka memerlukan pendidikan lain sebagai bekal hari depan. Sehingga, mengikuti jam kursus dalam bidang lain terutama bahasa, seni dan olah raga pun menjadi pilihan yang tepat. Selepas sekolah formal mereka diminta untuk belajar lagi, dan lagi demi cita-cita menciptakan manusia ‘super’ di masa datang.

Di sisi lain, kesibukan orang tua dalam mengejar pendapatan harus dibayar mahal. Kurangnya perhatian dan kasih sayang menyebabkan sang anak terkesima dengan kemajuan teknologi informasi. Banyak kasus, game on line telah membuat anak enggan untuk tidak lagi mau bersekolah. Mereka asyik dengan dunia maya dan meninggalkan dunia nyata bahkan termasuk kedua orang tua mereka. Namun, fenomena ini segera diambil sebagai peluang bagi munculnya homeschoolling. Dengan biaya yang cukup besar, mereka memanggil guru datang ke rumah untuk mengajarkan anak-anak mereka per mata pelajaran. Sehingga bisa dibayangkan besarnya pengeluaran perbulan untuk pendidikan sang anak. Lebih jauh, menurut Lody Paat, sesungguhnya konsep homeschoolling di Indonesia ini tidaklah sesuai dengan konsepsi sebenarnya. Homescholling sesungguhnya muncul karena ketidakpercayaan orang tua terhadap materi yang diajarkan di sekolah-sekolah formal yang cenderung sekuler. Sehingga mereka menganggap perlu untuk mengajari anak mereka secara mandiri di rumah, ingat mandiri bukan dengan memanggil guru ke rumah. Sehingga jelas ungkapnya ‘munculnya homeschoolling di Indonesia adalah bentuk kegenitan kelas menengah’.

Kegenitan dalam Beragama

Kegenitan itu ternyata tidak hanya pada bidang pendidikan. Dalam bidang agama (khususnya Islam) pun juga cukup fenomenal. Kalau menurut Vedi Hadiz penopang gerakan Islam di Turki dan Mesir adalah kelas menengah yang rentan, namun dalam pembahasan ini akan terlihat keanehan di Indonesia. Keberislaman bagi kelas menengah dimaknai sebagai ajang untuk menampilkan eksistensi ‘prestise’ juga. Telah dibahas sebelumnya, bahwa sekolah-sekolah Islam di perkotaan semakin menjamur dan bernuansa elit. Dengan demikian, religusitas bukan hanya menjadi tujuan utama, keelitan juga menjadi suatu yang dikejar dalam upaya mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Karakter keislaman yang dicari juga hanya pada sebatas permukaan saja, karena sang orang tua juga tidak paham dengan nilai-nilai keislaman untuk diterapkan di rumah tangga. Dalam kondisi demikian, wajar saja ada keterpecahan kesadaran akan nilai kesilaman bagi anak-anak di sekolah Islam tersebut. Oleh karenanya wajar saja, moralitas siswa sekolah Islam tersebut tidak berbeda sama sekali dengan anak-anak yang bersekolah di sekolah formal.

Hal lain yang juga fenomenal adalah munculnya pengajian elit dan juga budaya filiantropi yang semakin menguat. Kesadaran beragama kelas menengah sesungguhnya muncul sebagai respon atas sistem ekonomi yang kapitalistik. Walaupun hanya asumsi, penulis sangat yakin bahwa, religusitas kota didominasi oleh ibu-ibu kelas menengah. Absen dalam kerja formal dan juga kerja reproduktif di rumah menyebabkan ibu-ibu kelas menengah berinisiasi untuk membentuk pengajian-pengajian sebagai pelengkap dari kumpul-kumpul informal yang biasanya difasilitasi dari interaksi sesama ibu-ibu di sekolah sang anak maupun perumahan tempat mereka tinggal. Dengan demikian, dicarilah ustad-ustad yang memiliki tampang dan style yang menarik, serta tentunya pembahasan agama yang ringan dan juga adem-ayem. Oleh karenanya, pengajian-pengajian ibu-ibu elit ini menjadi sarana persemaian bagi dai-dai ‘seleb’ eksis di televisi. Karena tidak bisa dipungkiri, ibu-ibu kelas menengah ini memiliki akses terhadap berbagai instansi termasuk media.

Selanjutnya yang tidak kalah fenomenal adalah semakin banyaknya bermunculan lembaga-lembaga ZIS (zakat, infaq dan sodaqoh) di perkotaan. Sebagai kelanjutan dari pengajian-pengajian rutin tersebut, biasanya diadakan santunan untuk anak yatim dan duafa. Kerapnya penyelenggaran santunan ini membuka peluang bagi aktifis Islam yang lebih ideologis untuk memanfaatkan dana ZIS tersebut untuk dibuat demi kemaslahatan yang lebih luas. Sehingga dibentuklah lembaga-lembaga ZIS yang lebih formal untuk menghimpun serta menyalurkan dana ZIS tersebut untuk kaum-kaum yang membutuhkan. Menagemen yang baik dari lembaga-lembaga ZIS tersebut ternyata berhasil meningkatkan kesadaran kelas menengah untuk berbagi harta dengan kaum yang tidak mampu. Sangat mungkin, menguatnya gerakan filiantropi di perkotaan adalah bentuk ketakutan akan ‘subhat’nya pendapatan yang didapatkan dari kerja-kerja dalam ekonomi kapitalistik yang mereka jalani. Bahkan lebih jauh Zizek berpendapat bahwa filiantropi adalah bentuk dari budaya kapitalisme global, dengan kata lain itu adalah upaya kapitalisme mempertahankan dominasinya atas kelas-kelas bawah.

Prestis dan Ketakutan akan Masa Depan sebagai Faktor Pendorong

Dalam pembahasan di atas, penulis mengakui bahwa muatan subjetivitas masih sangat tinggi. Apalagi tulisan ini tidak ditopang oleh data-data yang ilmiah, hanya asumsi belaka. Namun, walaupun demikian, penulis ingin menyimpulkan tentang tindakan sosial kelas menengah di perkotaan. Dari pembacaan atas asumsi-asumsi di atas adalah adanya pengejaran terhadap ‘prestis’ dan juga rasa ketakutan akan masa depan yang semakin tidak menentu. Dengan demikian, gerakan kesilaman perkotaan di Indonesia yang muncul pun sangat rapuh, tidak sekuat di Turki dan Mesir. Begitu pula, pendidikan yang disediakan di perkotaan ternyata belum berhasil menciptakan generasi-generasi yang unggul secara intelektual. Ternyata generasi-generasi yang muncul dan terserap di PTN (sebagai indikator) masih sangat banyak diisi dari anak-anak lulusan sekolah-sekolah biasa (negeri). Jadi perlu adanya gerakan penyadaran kelas menengah perkotaan di Indonesia, walaupun ini ironi. Karena disebagian besar negara-negara lainya, justru kelas menengahlah yang menberikan kesadaran begi kelas bawah dan atas. Harapan itu pun kini ada pada kelas menengah yang rentan (ke bawah), termasuk mahasiswa sebagai pelopor penyadaran untuk menjadi bangsa yang bermartabat. semoga


Leave a comment

Categories