Posted by: yudomahendro | January 10, 2012

Demokratisasi dan Budaya Kekerasan


Eskalasi konflik sosial di daerah kini relatif meningkat. Mulai dari konflik lahan dan tanah, konflik antar agama dan sektarian, dan juga konflik politik pasca Pilkada, serta konflik antar kelompok remaja. Dalam konteks ini bermunculan banyak analisa yang mencoba menjelaskan fenomena ini, yang mengemuka adalah perspektif genetis dan juga kontekstual. Dalam perspektif genetis menjelaskan konflik sosial yang terjadi merupakan karakter bawaan dari bangsa kita. Sedangkan dalam perspektif kontekstual, menjelaskan konflik sosial yang terjadi merupakan akibat dari situasi ekonomi dan politik yang sedang terjadi.

Runtuhnya rezim Orde Baru menjadi babak baru dari konflik sosial yang ada, terutama konflik etnis. Dalam membaca konflik pada awal reformasi, sepertinya tepat menggunakan teori konflik nasionalis yang diintrodusir Jack Snyder. Menurut analisa Snyder (2001) demokratisasi di negara-negara sedang berkembang berpontensi untuk mengalami konflik nasionalis. Hal ini terutama disebabkan oleh runtuhnya rezim otoriter tidak meninggalkan lembaga-lembaga demokratis (parlemen, partai politik, dan lain-lain) yang kuat. Di sisi lain, kepentingan elit-elit yang memiliki peluang untuk berkuasa-dalam konteks Indonesia hanya terjadi di daerah-cukup besar sehingga terjadi friksi satu dengan yang lain. Pada kondisi yang demikian, kepentingan ekonomi dan politik direduksi menjadi kepentingan identitas keagamaan dan juga etinisitas. Pada tahap selanjutnya, perpecahan dan konflik yang manifest tidak bisa dihindari dan cenderung meluas.

Konsolidasi antar elit dalam upaya mencapai kekuasaan dilakukan melalui partai politik dan Pemilu. Ruang berpolitik yang terbuka lebar, dimanfaatkan oleh sebagian besar elit untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya. Parahnya, demokratisasi ini dikotori oleh politik uang yang selalu mewarnai setiap pesta demokrasi pada semua tingkatan. Sehingga wajar, para elit-elit yang terpilih dalam Pemilu, tidak lagi berorientasi untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Para elit kini telah hanyut dalam kepentingan pribadi dan kelompoknya, bahkan korupsi pun sudah menjadi hal yang lumrah bagi setiap anggota legislatif, pimpinan daerah, serta pejabat publik di semua lini.

Dalam konteks ini munculah berbagai macam konflik sosial di masyarakat. Isunya dan sebarannya pun semakin luas. Salah satu faktor yang dapat memicu adalah masalah ekonomi, terutama disebabkan gap yang tinggi antara si misikin dan si kaya. Reformasi secara faktual ternyata tidak mampu membawa perubahan kesejahteraan bagi kelas bawah, namun menyediakan sarana yang lengkap bagi kelas menengah dan atas untuk meningkatkan kekayaan dan pengaruhnya. Kondisi ini diperparah oleh semakin ‘muak’ dan bencinya rakyat kecil dan juga kelas menengah ke bawah terhadap para piminan daerah, partai politik, dan juga elemen-elemen penegak hukum yang hanya memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi semata.

Kekerasan menjadi bahasa yang kerap mucul dalam upaya memperjuangkan hak-hak dan kepentingan kelas bawah. Ketidaktegasan aparat kepolisian dalam upaya mencegah kekerasan, menyebabkan kondisi ini semakin berlarut-larut. Apalagi sudah muncul ke publik bahwa aparatur kepolisian hanya membela kelompok-kelompok yang memiliki modal. Masyarakat daerah khususnya di pedesaan, sudah habis kesabarannya dengan segala penindasan dan pemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah dan juga berbagai perusahaan yang ada disekitar mereka.

Kondisi seperti ini, jika ditinjau dengan analisa Snyder, maka kekuatan lembaga demokratis dan juga elit sangatlah lemah. Snyder menjelaskan jika elit dan lembaga demokratis lemah maka yang terjadi adalah nasionalisme revolusioner sebagaimana yang terjadi di Perancis, pasca Raja Louis XVI. Pada saat itulah, kelas menengah dan bawah membentuk aturan dan perundang-undangan yang lebih baik untuk kepentingan mereka, yang akhirnya dibentuklah negara repubik pertama di Perancis. Namun banyak pihak melihat kondisi ini tidak separah itu, apalagi Indonesia tidak memiliki akar historis revolusi rakyat. Tetapi kita tidak bisa menutup mata atas kejadian-kejadian di Mesir, Tunisia, Libia, dan banyak negera-negara Timur Tengah yang sedang dilanda kemarahan besar sebagian besar rakyatnya.

Dalam analisa lain, dapat juga kondisi kekinan yang penuh konflik sosial merupakan situasi yang disebut Durkheim sebagai ‘anomie’. Anomie, merupakan kondisi saat norma-norma yang ada tidak lagi mampu menjaga keteraturan masyarakat. Aturan umum yang ada tidak dapat mengatur semua anggotanya, sehingga membutuhkan kesepakatan baru untuk menjaga keteraturan. Dengan kata lain, semua aturan hukum negara tenyata tidak lagi dianggap sebagai aturan yang berlaku, di sisi lain semakin banyak elemen-elemen masyarakat yang memiliki norma sendiri, memaksakan norma-norma yang mereka gunakan kepada elemen lain. Inilah sumber konflik sosial, yaitu adanya benturan norma dan kepentingan di setiap elemen-elemen masyarakat yang ada. Saat tidak ada aturan-aturan yang dapat mengatur semua elemen masyarakat, tentunya akan terjadi situasi yang ‘chaos’, semuanya menggunakan bahasa kekerasan.

Melihat kondisi Indonesia, banyak sekali kemungkinan yang ada terkait dengan masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara. Lemahnya kewibawaan lembaga-lembaga negara membuat masyarakat merasa terpisah dengan kehidupan para elit-elit yang cenderung koruptif. Jika tidak ingin, bangsa ini semakin larut dengan budaya kekerasan ataupun terjadi revolusi rakyat, tentunya dibutuhkan kerja-kerja ekstra oleh elit-elit yang ada di semua lembaga negara, baik pusat maupun daerah. Jikalau memang UUD 1945, dan semua aturan yang ada dan berlaku di Indonesia itu baik, maka perlu contoh dalam upaya menegakan aturan-aturan itu pada tingkat elit.

Jika melihat situasi yang sedang terjadi, keteladanan dari elit menjadi kata kucnci yang tidak bisa ditawar lagi. Walaupun jalan tersebut masih akan mendapatkan begitu banyak hambatan dan halangan yang muncul karena ketidakpercayaan yang sudah memuncak. Atau jalan revolusi yang akan menjadi sarana memperbaharui elit yang ada di Indonesia, sebagaimana Iran dan China. Apapun itu, sesungguhnya konflik sosial yang ada merupakan representasi lemahnya kinerja negara dan aparatus yang melingkupinya.


Leave a comment

Categories