Posted by: yudomahendro | May 22, 2012

Homi Bhaba; Dekonstruksi Poskolonialisme

Setelah sebelumnya mambahas Said dan Spivak, pada pembahasan ini akan dibahas tokoh yang juga diasosiasikan dengan poskolonialisme. Homi Bhaba, orang India yang mendapatkan fasilitas untuk mengenyam pendidikan tinggi di kampus ternama Inggris dalam bidang sastra Inggris. Sebagai orang India yang hidup pasca perang dunia kedua, ia melihat adanya benturan budaya antara budaya lokal dengan budaya Inggris (Barat) pasca kolonialisme. Hal inilah yang menjadi konsern studinya tentang poskolonialisme yang tentunya sebagai orang sastra pemikirannya dipengaruhi oleh poststukturalism dan juga posmodernisme; khususnya Derrida, Foucault, dan Said. Analisa Bhaba tentang kondisi poskolonial dititikberatkan pada ranah budaya, karena menurutnya budaya merupakan representasi dari kondisi sosial dan politik yang berkembang.

Dari sekian banyak karyanya, setidak-tidaknya akan kita bahas  dua pemikiran utamanya, yaitu tentang mimikri dan hibriditi. Dua istilah tersebut sesunggunya merupakan upaya Bhaba untuk menggambarkan kondisi masyarakat subaltern pasca kolonialisasi, terutama pada tekanan budaya. Dalam bukunya, ‘nation and naration’ Bhaba memotret kondisi bangsa pasca kolonialisme, sehingga munculah definisi bangsa sebagai berikut: “ ‘coming into being’ a system of cultural signification, as the representation of social life rather than the dicipline of polity, emphasize this instability of knowledge”.  (1990: 1-2).

Dengan demikian, Bhaba melihat ikatan kebangsaan sesungguhnya adalah budaya, yang mana budaya tersebut juga sekaligus merupakan representasi dari kehidupan sosial kelompok tersebut. Selanjutnya, dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa setiap bangsa memiliki batas-batas kebudayaan dengan bangsa yang lain. Sehingga ada produksi dan reproduksi tentang kebudayaan yang melekat dalam kelompok tersebut secara internal. Namun, dalam dunia modern, Bhaba melihat adanya kelompok bangsa yang dominan yang dapat menyeruak masuk kedalam kebudayaan bangsa-bangsa yang lain. Dalam hal inilah, Bahaba mengandaikan bangsa seperti ‘dewa Janus’ yang memiliki dua wajah; memiliki relasi intra dan ekstra/ lokal dan modernitas.

Dalam kata ‘narasi’ dapat dimaknai Bhaba juga berpendapat  bahwa proses terbentuknya bangsa tak dapat dipisahkan dari konteks sosial politiknya. Karena, setiap perubahan dalam suatu komunitas lokal tentunya dapat diamati dan diteliti secara detail. Sehingga definisi ini menghalau definisi bangsa sebagai sesuatu yang sudah dari sananya, atau karena kesamaan rasial atau kesukuan semata. Bhaba sepakat dengan definisi bangsa sebagai ‘imagine communities’ yang diintrodusir oleh Ben Anderson. Karena, situasilah yang membentuk suatu kelompok untuk menjadi kesatuan entitas budaya, yang didalamnya tak lepas dari representasi sosial dan politik.

Mimikri dan Hibriditas: Relasi antar Dua Budaya

Dalam konteks dualisme itulah, muncullah konsep mimikri. Bhaba menjelaskan bahwa mimikri adalah upaya masyarakat/kelompok lokal yang meniru/mengimitasi kebudayaan modern yang ditampilkan  dalam gaya berbicara, berpakaian, bersikap, dan citra budaya lainya. Upaya ini dilakukan oleh kelompok lokal/sublaltern agar mendapatkan akses yang sama dengan kelompok yang memiliki kekuasaan, dalam hal ini penjajah. Hal ini dipahami karena adanya ketimpangan dan ketidakadilan dalam relasi orang lokal dan penjajah. Tentunya sebagaimana diketahui, kelompok kolanial akan selalu mempertahankan dominasinya secara ekonomi dan politik dari para  kelompok jajahan untuk tetap dapat mengeksploitasi mereka.

Dalam banyak kasus, kelompok mimik, merupakan mereka yang telah melakukan kontak dengan kelompok dominan secara intens atau juga telah melakukan perjalanan ke negeri-negeri Barat. Tentunya, jika ditilik lebih jauh kelompok mimik adalah mereka yang memiliki status sosial tinggi di kelompok lokal atau elit. Sebagaimana di Indonesia, kelompok elit inilah yang pada akhirnya menjadi kepanjangtanganan penjajah di negeri jajahan. Namun, dalah hal ini Bhaba tidak memandang negatif kelompok mimik, karena sejarah membuktikan di negeri-negri jajahan kelompok inilah yang memunculkan pergerakan-pergerakan subversif terhadap negeri jajahan. Dengan kekampuan mereka berbahasa seperti penjajah, mereka tentunya mampu menyerap informasi mengenai ide-ide yang berkembang terutama terkait politik.  Mereka inilah yang menjadi ‘intelektual organik’ yang menggerakan massa lokal untuk melakukan perlawanan dan merdeka dari penjajah. Konsep mimikri ini cukup memberikan kontribusi bagi perkembangan studi poskolonialisme, karena kecenderungannya di negeri-negeri jajahan akan muncul kelompok tersebut.

Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, selain mimikri konsep penting lainya adalah hibriditas. Agak berbeda dengan mimikri, yang sudah memiliki kejelasan objek yang fix, hibriditas mencakup hal-hal yang lebih luas lagi. Secara sederhana hibriditas dapat diartikan sebagai suatu percampuran budaya antara Barat dan Timur, dalam hal ini antara pribumi dan jajahan. Bhaba secara spesifik menjelaskan hibriditas kepada suatu kelompok pribumi yang memiliki keseimbangan atribut budaya antara lokal dan Barat. Dalam upaya memihat percampuran tersebut, Bhaba membagi ranah hibriditas menjadi lima bagian, yaitu; rasial, lingusitik, literatur, budaya, dan keagamaan. Menurutnya, dari kelima kategori yang ada 3 hal utama yang signifikan dalam kajian poskolonial adalah lingusitik, literatur, dan budaya.

Hibriditas linguistik dimaksudkan oleh Bhaba adalah fenomena dimana penduduk pribumi dapat menggunakan bahasa penjajah, dalam hal ini banyak difasilitasi oleh pendidikan formal. Dampaknya bagi negara-negara bekas jajahan antara lain masuknya kata-kata serapan dari bahasa penjajah ke bahasa pribumi. Atau malah, negeri jajahan secara penuh menganggap bahasa penjajah sebagai bahasa resmi negara, seperi terlihat dibanyak negara jajahan Inggris.

Kemudian adalah hibriditas literatur, tentunya fenomena ini muncul setalah hibriditas lingustik tercipta. Menurut Bhaba, hibriditas literatur adalah fernomena kaum pribumi mulai memahami cerita-cerita, informasi, dan gaya penulisan dari literatur yang ada di negeri jajahan terutama lewat karya novel. Dengan demikian, tentunya tidak dibanyak orang, akan muncul imagi-imagi tentang kondisi dunia Barat, khususnya negeri penjajah, yang tergambar lewat literatur-literatur yang dibacanya. Selanjunya, mereka menggunakan literatur-literatur tersebut sebagai bahan inspirasi untuk mereka menciptakan literatur-literatur yang menggambarkan kondisi sosial, budaya, dan politik masyarakat pribumi yang pada akhirnya literatur lokal ini menginspirasi bagi banyak pihak untuk melakukan perubahan dan kemerdekaan.

Selanjutnya adalah hibriditas budaya. Budaya sebagaimana dimaknai sekarang yang mencakup seni, cara berpakaian, lagu, makanan, cara bersikap, dan masih banyak lagi. Dalam hal ini pun, hibriditas budaya dimaknai sebagai percampuran budaya antara entitas lokal dengan yang dari Barat. Sehingga, sesungguhnya hibriditas budaya tidak jauh berbeda dengan fenomena mimikri. Hal ini dipahami karena adanya anggapan umum di era kolonial, bahwa budaya Barat yang dibawa oleh para penjajah lebih unggul dan lebih tinggi dibandingkan dengan budaya pribumi yang dilekatkan stigma tradisional dan ketinggalan zaman.

Melampaui Poskolonialisme

Kontribusi Bhaba dalam ranah poskolonialisme adalah perspektif baru dalam melihat hubungan antara penjajah (colonizer) dan yang dijajah (colonialized). Jika Said dan Spivak cenderung melihat relasi itu dalam dikotomis yang terpolarisasi, Bhaba memberikan kontribusi dengan memberikan tekanan pada agen (agency). Bhaba melihat sesungguhnya kaum subaltern-meminjam istilah Spivak- tidak serta merta menerima kondisi penjajahan dengan pasrah dan tidak melakukan perlawanan. Konsep mimikri dan hibriditas sesungguhnya merupakan alat untuk melihat aktifnya agen dalam melihat situasi yang berkembang, dalam konteks penjajahan. Pun Bhaba memperlihatkan fenomena dominasi penjajah sesungguhnya bukan hanya karena besarnya power yang dimiliki, namun juga karena ketakutan yang melihat kondisi yang berlangsung. Di sisi lain, para kaum pribumi sesungguhnya memiliki potensi melawan, walaupun dengan bentuk-bentuk yang sederhana. Hal inilah yang dapat memberikan penjelasan terhadap munculnya gerakan-gerakan perlawanan/nasionalisme yang marak di Asia-Afrika menjelang berakhirnya perang dunia ke-2.


Leave a comment

Categories