Posted by: yudomahendro | August 21, 2011

Dilema Nahi Mungkar Bagi Masyarakat Permisif

Sebagai muslim, tentunya sudah tidak asing lagi dengan frase nahi mungkar. Frase ini biasanya dilekatkan bersama frase amal ma’ruf, sebagai suatu kewajiban seorang muslim terhadap muslim yang lain. Frase ini menjadi dilematis ketika arus informasi terbuka seluas-luasnya. Bagi orang Indonesia yang terkenal terbuka terhadap informasi dari manapun, hal ini telah membawa tahap baru bagi perkembangan masyarakat kita. Era keterbukaan informasi, terutama pasca runtuhnya rezim Soeharto dan perkembangan teknologi komunikasi via internet membuat masyarakat kita semakin bebas untuk menentukan jalan hidupnya sesuai apa yang dianggap pas dan pantas. Dengan kondisi yang sedemikian rupa, tentunya semakin banyak sandaran normatif keagamaan (dalam hal ini Islam) yang semakin tergerus. Namun sangat disayangkan, upaya-upaya menegakan nahi mungkar tidak populis bagi umat muslim Indonesia. Dalam dakwah-dakwah tablig misalnya, muatan tentang nahi mungkar terasa sangat minim sekali, di sisi lain semangat amal ma’ruf bergema dimana-mana. Latar inilah yang mungkin menyebabkan kita dalam situasi dimana seorang yang melaksanakan sholat lima waktu namun tetap korupsi, berpuasa ramadhan namun tidak lepas dari berkhalwat. Pribadi-pribadi muslim kian mengalami keterpecahan identitas muslimnya.

Menilik sejarah, sesungguhnya upaya nahi mungkar sudah dirintis lama. Di Jawa misalnya, para wali berupaya keras untuk memberantas Mo Limo lima perbuatan mungkar yang dilarang agama yang terdiri dari, minum, madon (zina), maling, madat (narkotika), serta main (berjudi). Dalam tradisi pra Islam Jawa, kelima hal tersebut merupakan hal yang mungkin saja lumlrah, tetapi akibat kegigihan dan keseriusan para pendahulu kita, dalam 3-4 generasi di atas kita manfaatnya masih dapat dirasakan. Kemungkaran dilihat sebagai sesuatu yang merisihkan dan dianggap sebagai penyakit akut jika dibiarkan. Suatu kondisi yang kini semakin jarang kita rasakan terutama di daerah perkotaan.

Keresahan ini ternyata juga mulai dirasakan oleh banyak pihak, secara konsisten FPI (Front Pembela Islam) berada dalam ujung tombak yang mengusung nahi mungkar. Dalam hal ini, FPI fokus kepada pemberantasan kemungkaran seperti praktek perzinahan, minuman keras, dan juga pornografi dan porno aksi. Sangat disayangkan, upaya-upaya FPI dalam memperjuangkan nahi mungkar yang dilaksanakan secara represif kerap berlebihan dalam aksinya di lapangan, sehingga setiap pergerakan FPI pun kerap mendapat kecaman dan sangat sedikit sekali simpati, bahkan dari umat muslim sendiri.

Berbeda dengan FPI, dalam hal ini pemerintah daerah NAD pun tak ketinggalan. Pasca perjanjian damai Helsinsky, Aceh menegaskan dirinya sebagai daerah yang berbasis kepada syariat Islam. Dalam upaya menunjung syariat Islam, pemerintah daerah Aceh merasa perlu untuk membuat qonun (peraturan) yang berupaya mencegah kemungkaran. Secara legal, NAD menganggap praktek khalwat (berdua-duan yang bukan muhrim), Khamr (minuman keras), serta maysir (perjudian) sebagai kegiatan melanggar hukum positif. Bahkan, Pemda NAD membuat kelembagaan polisi syariah (Wilayatul Hisbah) yang bertugas menindak setiap pelanggaran syariah, terutama ketiga hal tadi yang sudah dilegalkan sebagai hukum daerah. Sekali lagi sayang, upaya nahi mungkar ini juga kurang mendapatkan respon positif, alasanya terutama inkonsistensi penegakan hukumnya, karena hukum tersebut nyata dirasa tidak menyentuh elit-elit pemerintahan. Apalagi mengenai korupsi, sangat minim sekali pemda berupaya menangani masalah tersebut.

Dari contoh upaya nahi mungkar di atas, nyata terlihat strategi kultural ternyata lebih efektif dibandingkan dengan upaya represif. Oleh karenanya, bagi para penggiat dakwah yang tergabung dalam ormas maupun individual harus memutar otak lebih keras untuk memberikan penyadaran bahwa Islam tidak bisa mentolerir kemungkaran. Kuatnya pemahaman individualistis, mainstream HAM generasi I, dan demokrasi, kerap menjadi tameng bagi oknum-oknum tertentu untuk menglepaskan diri dari norma-norma Islam.  Apalagi, dalam hal ini negara tidak bisa banyak diharapkan untuk berada di garda terdepan dari semangat menegakan nahi mungkar. Sehingga, secara individual maupun keluarga, juga harus terlibat aktif untuk membentengi anggotanya agar tetap berada dalam rel yang diridhoi Allah swt, sebelum adanya kesarandaran bersama untuk hidup dalam kondisi baldatun toyyibatun wa robbul ghofur.. semoga semakin banyak yang mengusungnya, semoga,,


Leave a comment

Categories