Posted by: yudomahendro | August 18, 2011

Rukun Islam dan Kemajuan Peradaban

Bersyukur kepada Allah swt, kita masih diberikan nikmat untuk bertemu kembali dengan bulan yang penuh berkah, bulan ramadhan. Bulan di mana Al-Qur’an diturunkan ke muka bumi. Turunnya Qur’an, merupakan suatu momentum awal bagi perubahan besar bagi peradaban Arab dan Dunia dalam waktu-waktu selanjutnya. Ini hanyalah suatu dari sekian banyak latar historis dan keutamaan dari Romadhon. Namun, dalam kesempatan ini saya mencoba mengungkapkan beberapa gagasan sederhana yang sudah lama terpikirkan, tentang relevansi ritus dan value romadhon sebagai salah satu elemen penting yang  menyokong kegemilangan peradaban Islam di masa silam. Dengan itu, saya berharap akan ada spirit dan optimisme baru dalam melihat Islam sebagai inpirasi dan petunjuk dalam kehidupan di dunia ini.

Bulan ramadhan bagi sebagian besar orang Indonesia, lebih akrab disebut dengan bulan puasa. Hal ini menandai bahwa puasa memang menjadi titik sentral bagi umat muslim dalam beraktifitas di bulan ramadhan. Padahal, ada satu lagi rukun Islam yang tak kalah pentingnya yaitu; zakat. Puasa dan zakat merupakan bagian rukun Islam yang diharuskan dikerjakan pada bulan ramadhan. Dari titik inilah, saya mencoba menggambarkan skema besar dari Islam dalam memberikan keharusan ritual yang memiliki makna yang cukup besar. Namun sangat disayangkan, usaha-usaha untuk menggali nilai yang tersirat itu semakin tidak popular. Sebaliknya, lebih banyak umat muslim yang hanya terpaku menjalankan ritual dengan sekaligus menghancurkan sistem nilai yang ada dalam ritual tersebut. Salah satu contohnya adalah puasa yang mengajarkan kita untuk sederhana dan merasakan kehidupan bagi orang-orang yang kekurangan, namun dalam menjalankan ibadah puasa malah kita larut dengan keborosan-keborosan untuk urusan meja makan saat berbuka dan sahur. Fenomena inilah yang membuat harga  bahan-bahan pokok melambung ketika menjelang dan selama puasa akibat tingginya permintaan saat ramadhan.

Belajar dari Bulan

Dalam tradisi Islam, bulan memiliki makna yang cukup suci. Hal ini dapat kita lihat dari simbolisasi atas Islam selalu dikaitan dengan bulan (dan bintang). Kubah masjid, bendera kesultanan Turki (dan banyak lagi negara muslim yang menggunakan bulan dan bintang), serta di Indonesia partai Islam dari Sarekat Islam, Masyumi, sampai PKS, menggunakan simbol bulan sabit. Dalam pemaknaan sederhana bulan sabit dan bintang adalah simboliasasi atas Al-Qur’an dan Sunnah, dua pegangan umat Islam dalam kehidupannya. Selain dalam pembahasan simbol, bulan juga merupakan titik pembeda kalender Islam dengan kalender Barat (masehi), karena dalam kalender hijriah bulanlah yang menjadi patokan pergantian waktu. Dengan demikian makna bulan memiliki dua padanan kata dalam bahasa arab yaitu qomar (bulan dalam ranah astronomi) dan syahrul (bulan dalam hitungan waktu), yang dalam bahasa Indonesia kerap dipersamakan.

Dari titik itu, munculah renungan dalam melihat karakteristik bulan (dalam hal ini qomar). Apalagi Allah telah memerintahkan kita untuk mengamati alam raya sebagai sarana mengagungkan Sang Empunya. Sebagaimana surat Ali Imran ayat 190-191 yang artinya : “Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda – tanda bagi orang yang berakal, yaitu orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, berbaring, dan mereka memikirkan (tafakur) penciptaan langit dan bumi, seraya berkata “Ya Tuhan kami tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”.

Dalam kajian fisika kita akan mengetahui bahwa bulan merupakan satelit dari pelanet yang kita huni ini; bumi. Dengan begitu, ia selalu mengelilingi bumi tanpa henti. Namun jika ditilik lebih lanjut, ternyata bulan memiliki tiga gerakan. Gerakan yang pertama adalah rotasi, dalam hal ini bulan berputar pada porosnya, uniknya gerakan rotasi bulan berbarengan dengan rotasi bumi. Kedua, adalah gerakan revolusi bulan terhadap bumi. Dalam aktifitasnya berotasi, bulan sebagai orbit dari bumi melakukan gerakan mengelilingi matahari. Pengaruh dari gerakan revolusi ini adalah berubahnya bentuk bulan dalam setiap waktu. Hal ini dikarenakan bulan tidak memiliki sumber cahaya sendiri, namun hanya memantulkan cahaya dari matahari. Ketiga, adalah gerakan revolusi bulan terhadap matahari. Sebagai konsekwensi perannya sebagai satelit bumi, tentunya bulan juga beriringan bersama bumi bergerak mengelilingi matahari.

Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui kebesaran Sang Pencipta dalam mengatur jagad raya ini. Apalagi astronomi merupakan suatu ilmu yang cukup disegani oleh umat manusia. Hal ini dapat ditandai bahwa kebesaran suatu peradaban akan ditentukan oleh kemampuannya dalam menghitung hari dengan membuat kelander, sebagaimana jika kita melihat peradaban Mesir kuno, China kuno, Jawa, Maya, dan juga Romawi. Dengan demikian, hendaknya kita tidak hentinya untuk terus bertafakur atas benda-benda langit tersebut.

Memaknai Rukun Islam dalam Tiga Level

Analisis ini hanyalah idjtihad kecil yang besar kemungkinannya untuk salah. Namun, pemikiran ini akan berdampak cukup signifikan dalam merubah pola pandang kita atas ritual Islam, yang terlembagakan dalam rukun Islam. Belakangan, kita mengalami masalah bahwa ritual agama dalam hal ini Islam, ternyata tidak berdapak terhadap kehidupan sosial dan spiritual. Dengan begitu,  pemikiran ini diharapkan dapat membantu kita untuk memaknai ibadah ritual dan konsekuensinya dalam kehidupan sosial.

Tiga level yang dimaksud merupakan adopsi dari tiga gerakan bulan yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam bahasa sederhana dapat kita sebut dengan rotasi, revolusi I, dan revolusi II. Berikut ini penjelasan masing-masing level:

  1. Level Rotasi

Sebagaimana diperlihatkan oleh bulan, rotasi adalah gerakan yang konstan. Walaupun begitu, dua gerakan tahap lanjut tidak akan bisa dilaksanakan jika tahap rotasi ini tidak dijalankan. Dari situ, rotasi dapat dimaknai sebagai gerakan yang berlevel pada tingkat individual. Dalam hal ini, rukun Islam yang pertama dan yang kedua berorientasi kepada individual. Dengan demikian, mengucapkan dua kalimat syahadat merupakan tahap take off, dari kondisi diam menuju pergerakan. Kalimat syahadat, merupakan persaksian sekaligus komitmen bahwa setiap muslim menjadi hamba yang bebas dan merdeka dari setiap penghabaan di dunia. Sang muslim telah siap berputar untuk menjalankan peran dan fungsinya sebagaimana yang diinginkan oleh Sang Empunya.

Selanjutnya adalah Sholat. Sholat adalah aktifitas rutin yang wajib dilaksanakan minimal 5 waktu. Dalam pemaknaan fisika, dengan kita berakifitas rutin setiap harinya, berarti kita juga ikut berotasi bersama-sama bumi, karena sesungguhnya bumi pun berotasi. Sholat bermakna bahwa sebagai muslim haruslah mengingat akan makna hidupnya di dunia dengan ber-zikir dan berdoa. Lebih dari itu, sholat membuat menumbuhkan etos disiplin dan menghargai waktu, karena sholat dilaksanakan berdasarkan waktu yang tetap setiap harinya. Dari sholat akan timbul rasa ketergantungan kepada Allah sehingga ia akan terus berusaha menjadi hamba yang baik dan meninggalkan segala perbuatan dosa dan sia-sia. Dengan demikian, sholat akan memberikan nilai untuk memanfaatkan waktu demi meningkatkan kapasitas diri yang mencakup peningkatan keimanan dan ketaqwaan, intelektual-akademis, serta skill dan profesionalisme. Dengan demikian level rotasi memberikan semangat untuk menjadi manusia yang mumpuni, spirit of profeissonalism.

  1. Level Revolusi I

Setalah setiap muslim mengamalkan dua rukun Islam dalam level rotasi selanjutnya adalah level revolusi I. Level ini adalah tahapan yang kedua yang berorientasi kepada lingkungan sekitar. Sebagai makhluk yang berdimensi sosial, maka sudah sewajarnya setiap muslim harus peka dan peduli kepada lingkungan sosial di sekitarnya. Dengan tetap berotasi, setiap muslim diwajibkan untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Level ini secara spesifik diselenggarakan pada bulan romadhon sebagai ajang menghidupkan kepekaan terhadap permasalahan sosial yang ada, yaitu dengan ibadah puasa dan zakat. Puasa adalah ibadah yang melatih diri untuk menahan apa-apa yang halal, seperti makan dan minum. Namun, lebih dari itu puasa membuat kita memiliki kepekaan terhadap permasalahan sosial ada, terutama kemiskinan. Menahan diri dari makan dan minum bermakna untuk hidup sederhana, walaupun kita mampu untuk membeli dan menggunakan sesuatu, namun kita dituntut untuk hidup secukupnya saja, tidak berlebihan.

Selanjutnya adalah zakat. Zakat merupakan ibadah wajib yang melatih kita untuk memberikan sebagian harta yang dimiliki kepada orang lain yang berkekurangan. Dalam ringkasan Ihya Ulumudin-nya Al-Gozali, Said Hawa menganjurkan untuk berzakat kepada orang sekampungnya. Dengan demikian setiap muslim harus peka dan peduli dengan kondisi tetanggan dan lingkungan sosial terdekatnya. Tolong-menolong haruslah diwujudkan tanpa membedakan bahasa, etnis, bahkan agama. Kampung sebagai tempat tinggal haruslah dibangun. Jangan sampai dari suatu kampung itu terjadi kemungkaran, kebodohan, dan kemiskinan, karena setiap muslim memiliki tanggungjawab atas kelangsungan lingkungan sekitarnya. Hal ini sejalan dengan hadis Rosulullah yang mengatakan disuatu tempat yang terjadi perzinahan makan 40 rumah disekelilingnya akan mendapatkan azab.semakin jelaslah bahwa Islam menganjurkan kita untuk membangun komunitas kita. Dengan demikian Islam telah meberikan landasan spirit of communalism.

  1. Level Revolusi II

Selanjutnya yang terakhir adalah gerak revolusi II. Dalam hal ini yang diasosiasikan adalah ibadah Haji. Pasca ramadhan, kita akan kedatangan bulan Zulhizah. Setiap muslim yang mampun secara fisik dan finansial diwajibkan untuk berangkat menuju tanah suci. Dengan demikian, berbondong-bondong setiap muslim yang terpanggil setiap tahunnya berkumpul di suatu tempat di Jazirah Arab. Mereka datang dari berbagai penjuru, etnis, bahasa, mahzab, dan negara yang berbeda, namun berpakaian dan niat yang sama. Ibadah fisik yang cukup padat dan melelahkan itu, memberikan nilai kesamaan status sebagai hamba Allah dengan meninggalkan segala jenis identitas; larut dan bersatu menjadi bagian dari ummah.

Maha Besar Allah yang telah menyatukan umat muslim dari berbagai penjuru dunia dalam satu kesatuan yang padu. Dengan momentum ibadah Haji, setiap muslim dari berbagai penjuru dapat bersilaturahmi dengan muslim yang lain yang berbeda identitas sama sekali. Ibadah Haji sejatinya merupakan kongres umat Islam se dunia, dalam satu rasa suadara sesama muslim. Sudah selayaknya Haji dijadikan sarana untuk membahas setiap perkembangan yang terjadi di dalam dunia Islam dengan diupayakan pemecahannya bersama. Daerah yang kaya dan berkecukupan sudah selayaknya membantu daerah yang kekurangan. Ingatkah kita ketika Aceh pernah dibantu oleh Sultan Turki? Itulah persaudaraan sesama muslim. Bahkan lebih jauh, sudah selayaknya amirul mukminan memberikan pidato-nya ketika Haji akan berakhir sebagaimana Nabi Muhammad selalu berpidato dalam setiap haji untuk memberikan wejangan, koordinasi, dan semangat kepada para peserta yang hadir. Dengan demikian kita telah terhimpun menjadi warga dunia yang tidak tersekat dengan semangat primordial semata. Dengan demikian ibdah Haji telah memberikan kita landasan akan pentingnya spirit of globalism.

Romadhon sebagai ajang Refleksi

Demikianlah sedikit paparan yang ditujukan untuk membangun kondisi adab yang luhur. Kesadaran mengenai makna atas ibadah ritual yang kerap kita jalani ternyata memiliki makna yang dalam. Ini menjadi tantang setiap muslim ditengah stereotype yang melekat untuk membuktikan bahwa Islam memiliki semangat keluhuran. Sebagaimana dijelaskan, dalam dimensi sosial, Islam membawa kita kepada semangat profesionalisme, komunalisme, sekaligus globalisme. Namun sangat disayangkan, ketiga spirit itu telah hilang dari pribadi setiap muslim.

Terkait komunalisme, perlu digarisbawahi di sini bukan bermakna destruktif sebagaimana kaum libertarian memaknai terminologi tersebut. Komunalisme, merupakan fitrah setiap manusia sebagai makhluk sosial, tetapi sebagaian besar orang memaknainya hanya sebatas identitas primordial. Sebagaimana dijelaskan  sebelumnya, komunalisme adalah semangat untuk membangun komunitas, dalam konteks kekinian tidak lagi harus disandarkan atas kesamaan darah, etnis, ataupu bahasa, namun kepedulian atas wilayah goegrafis yang kerap menjadi arena kehidupannya. Sehingga wajar para ilmuan terkemuka di masa lampau dipanggil dengan nama asal daerahnya, seperti Al Gozali, Al Bukhori, Al Makassari, Al Bantani, dan lain-lain, semuanya itu adalah bentuk penghargaan kepada suatu daerah yang telah berhasil memunculkan orang-orang yang mumpuni.

Terakhir dalam momentum Ramadhan ini, setiap muslim secara terintegrasi melaksanakan tiga rukun Islam sekaligus; sholat, puasa, dan zakat. Dengan demikian, bagi setiap individu muslim sudah selayaknya meningkatkan spririt of profesionalism dan spirit of communalism-nya.  Oleh karenanya tak salah kalau Rosulullah Muhammad menyebut Ramadhan dengan naman shahrut tarbiyah, bulan pendidikan, karena di bulan inilah semangat-semangat itu dapat diinternalisasi. Oleh karenanya, sudah selayaknya kita menghidupkan ajaran Islam lewat kontrol dari ibadah ritual yang kini sedang dikerjakan. Dengan harapan besar bahwa Islam sebagai jalan hidup itu mampu membuktikan pernyataan al Islam ya’lu wa la yu’la alaihi ; bahwa Islam itu tinggi mengungguli yang lain-lain dalam konsep kehidupan. Yang dalam tulisan ini disebut peradaban komariah. Semoga.         


Leave a comment

Categories