Posted by: yudomahendro | October 5, 2011

Dari Gunung Merapi Sampai Pantai Selatan: Sebuah Analisa Sosiologi Agama

Makalah ini mencoba memaparkan beberapa pemikiran Emil Durkheim yang dimuat dalam bukunya ‘The Elemenatary Form of Religious Life’. Buku tersebut merupakan salah satu karya awal dari Durkheim yang tentunya dalam konteks tersebut, Durkheim mencoba memberikan keterangan dan bukti-bukti yang dapat mendukung eksistensi sosiologi di antara komunitas ilmiah yang waktu itu masih meragukan keabsahan dari induk ilmu sosial ini. buku ini memusatkan perhatiannya kepada agama sebagai suatu fenomena sosial. Dengan demikian, agama yang keberadaanya kerap diselimuti kabut mistis dan supernatural dapat dianalisis secara sosiologis. Durkheim dalam kesempatan ini juga mulai memperkenalkan terminologi ‘fakta sosial’ sebagai objek kajian dari sosiologi, tanda-tanda ini dapat terlihat jelas dari beberapa analisisnya tentang konsep-konsep keagamaan.

Dalam menjelaskan penjelasannya tentang agama, Durkheim memilih menganalisa agama yang paling sederhana atau yang dia sebut dengan agama ‘primitif’ dengan alasan, agama tersebut mampu memberikan penjelasan general tentang bentuk-bentuk dasar dari agama. Hal ini dikemukakan karena menurutnya, agama-agama mapan telah bercampur dengan konteks budaya, ideologi, dan pengaruh-pengaruh eksternal lainnya (hal 39). untuk kepentingan itu, Durkheim memperlajari banyak literatur yang terkait dengan suku-suku terasing yang memenuhi kriteria ‘primitif’ tersebut. Sehingga rujuknya beberapa suku, seperti penduduk Melanesia, Amerika Latin, dan yang utama pedalaman Australia yang dokumentasinya di dapatkan dari hasil penelitian Frazer.

Sebelum lebih jauh membahas tantang agama, dalam bab I ia mencoba memberikan definisi dari agama itu sendiri. Menurutnya, agama adalah satu kesatuan sistem kepercayaan dan ritual kepada hal-hal yang sakral, yang mana kepercayaan dan ritual itu menyatukan pemeluknya kedalam satu komunitas moral yang disebut umat (Church) (hal  62). Berdasarkan pendefinisian tersebut, agama sesungguhnya terdiri dari tiga elemen pendukung yaitu kepercayaan kepada sesuatu yang Durkheim sebut dengan ‘Spiritual Being’ yang bisa dimaknai sebagai roh-roh, jin, dewa, ataupun Tuhan. Konsepsi spiritual being dimuncukan oleh Durkheim, dengan logika bahwa dalam banyak kasus kehidupan beragama, kekuatan supranatural tidak hanya dikaitkan dengan Tuhan atau Dewa (hal 44). Dalam agama-agama primitif, yang diyakininya menjadi awal mula semua bentuk keagamaan di muka bumi, pada awalnya dimulai dengan penghormatan kepada roh orang yang telah meninggal. Para pendahulu atau leluhur itu dianggap memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kehidupan mereka, sehingga memaksa mereka untuk melakukan ritual-ritual keagamaan.

Konsekuensi dari kepercayaan itu adalah pemeluk dari suatu agama membagi dunia ini secara dikotomis; sakral dan profan (hal  52). Sakral merupakan suatu predikat yang disadangkan kepada sesuatu yang dianggap berhubungan dengan ‘Spiritual Being’ yang memiliki sifat kebajikan dan juga memiliki kekuatan tertentu. Sedangkan profan sebaliknya, terminologi ini dikaitkan dengan sesuatu yang dianggap fana. Manusia sebagai makhluk beragama akan hidup dalam dua ranah yang berbeda dalam satu kesatuan kehidupan. Atas dasar itulah agama memberikan panduan untuk menapaki kehidupan bagi pemeluknya.

Elemen selanjutnya adalah, ritual ataupun prektek-prektek pemujaan. Berangkat dari definisi atas kepercayaan pada pembahasan sebelumnya, maka ritual dapat didefinisikan sebagai cara-cara bertindak yang dapat menghantarkan manusia kepada keberadaan objek yang sakral yang didasarkan aturan-aturan agama (hal 56). Sumber-sumber ritual ini didasarkan kepada kitab suci yang dianggap merupakan pesan langsung dari Ilahi, dogma, mitos, legenda, dan lain-lain.

Elemen terakhir adalah kelompok pemeluk agama. Dalam pemikiran Durkheim (hal 59), agama tidak bisa muncul dalam ranah individual, karena mereka sudah terhimpun dalam suatu kesadaran bersama menjadi satu kesatuan. Kelompok pemeluk agama menurutnya merupakan dasar dari kehidupan keagamaan.  Dari interaksi antar komunitas pemeluk agama muncullah orang-orang tertentu yang memiliki kapasitas religius lebih dibandingkan yang lain sebagai pemuka agama, atau pemimpin ritual. Fenomena ini merupakan dasar dan proses stratifikasi sosial yang paling tua.

Dalam rangka melacak dasar-dasar dari agama dengan mendasarkan analisis kepada agama yang cukup sederhana.  Olehkarenanya, dalam buku tersebut Durkheim memaparkan dua kepercayaan yang bisa dianggap mewakili syarat itu; animisme dan naturisme. Animisme dalam pandangannya, merupakan agama sistem kepercayaannya didasarkan kepada sesatu yang tak nampak (spirit) (hal 64-6). Sedangkan naturisme, agama yang mengkaitkan hal-hal yang nampak secara alamiah dengan sesuatu yang dibayangkan dengan zat yang menguasai dan memiliki kekuatan dari elemen itu (dewa). Naturisme merupakan suatu gerak revolusi dari animisme, karena keberadaanya mampu mengubah kehidupan beragama menjadi lebih rasional dengan bantuan dari bahasa (hal 96-97). Naturisme, identik dengan mitologi yang mengkaitkan benda-benda alamiah dengan dewa-dewa yang menaunginya, gambaran jelas tentang agama ini adalah agama Hindu dan mitologi Yunani Kuno.

Jika ditinjau dari pemikiran umum, dua jenis agama tadi merupakan hal yang paling primitif. Namun, menurut Durkheim masih ada sekelompok pemeluk agama yang lebih sederhana dan primitif dibandingkan dua entitas itu; totemisme. Agama totemisme hanya mengkait-kaitkan hewan atau tanaman ke dalam suatu komunitas tertentu (hal 105).  Dalam pandangan Durkheim, totemisme merupakan suatu objek yang sangat menarik karena akan mampu menggambarkan dasar-dasar dari suatu agama. Apalagi berdasarkan kajian etnografi diketahui, bahwa peninggalan atas totemisme tersebar diberbagai belahan bumi. Sehingga, dapat dipastikan bahwa totemisme merupakan agama yang paling awal dari umat manusia.

Walaupun totemisme masih sangat sederhana, komunitas ini sudah membagi masyarakat dalam beberapa bagian (klan) (hal 106). Pembagian itu  di dasarkan kepada kesamaan garis darah. Bahkan sesungguhnya, totemisme adalah kesatuan kolektif atas beberapa klan (hal 119). Di dalam klan itulah diberikan emblem (simbol) yang dapat mewakili karakter dari kelomok tersebut yang mana diantara satu klan dengan yang lainya memiliki emblem yang berbeda. Selain menjadi identitas, emblem itu juga menjadi sesuatu yang dibanggakan, bahkan disucikan atau disakralkan. Hal ini ditandai dengan penempatan emblem di tempat-tempat tertentu, khususnya di rumah. Pada tahap selanjutnya, totem atau emblem tersebut dipuja secara kolektif dengan upacara keagamaan. Dengan demikian, emblem bukan lagi menjadi simbol dari komunitas (klan) namun juga dapat di kategorikan sebagai karakter keagamaan (hal 136).

Penjelasan Durkheim tentang komunitas totem ini cukup panjang dan detail. Pada intinya Durkheim ingin memberikan agama pada level fakta sosial. Dari deskripsinya tersebut, diketahui bahwa sesungguhnya agama merupakan konstuksi dari masyarakat. Di sisi lain, masalah mistisme, supernatural, dan magis terbantahkan secara ilmiah. Hal-hal tak rasional itu hanyalah halusinasi dari masyarakat yang cukup mendominasi alam pikiran pemeluk agama. Dengan penjelasan itu pula, Durkheim menjelaskan proses dari terbentuknya institusi agama, dari komunitas, ritual, kemudian kepercayaan kepada ‘spiritual being’ lah yang paling akhir. Dengan penjelasan ini sesunguhnya ia berupaya mempertahankan teorinya tentang agama  sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Dari Gunung Merapi Sampai Pantai Selatan; Kisah dari Yogyakarta  

Yogyakarta, sebagai suatu provinsi di Indonesia memiliki karaketristik yang khas secara budaya, sehingga di depan nama itu disandangkan tambahan kata daerah istimewa. Hal ini dikarenakan Yogyakarta sampai saat ini masih berbentuk kesultanan, walaupun kekuasaan sultan kini terkooptasi dengan lembaga kekuasaan modern lainnya. Dalam konteks sosial yang terus berubah kearah rasionalisme, masyarakat Yogyakarta masih mempertahankan kebudayaannya dengan tetap menjalankan tradisi-tradisi kepercayaan yang  berpusat dari keraton. Kebertahanan budaya itu tentunya juga disokong oleh masyarakat Jogja yang mendukung keraton untuk mempertahankan tradisi tersebut dengan menceburkan diri ke dalam sistem kerja keraton (abdi dalem) bagi beberapa orang dan mendukung kegiatan keraton secara sukarela bagi kebanyakan orang Jogja.

Jika diamati lebih dalam, kepercayaan orang Jogja sesungguhnya dipengaruhi oleh tata kosmik yang teratur ini. hal ini juga dibuktikan dengan nama sultan yang bergelar ‘Hamengku Buono’ (pemangku jagad raya). Selanjutnya, secara teritorial kesultanan Mataram Islam (Yogyakarta) terbentang dari Gunung Merapi di Utara dan Pantai Parang Tritis di Selatan. Kedua entitas natural ini cukup penting bagi kepentingan ritual orang Jogja, selain keraton. Hal ini semakin jelas nuansa mistisnya ketika ketiga entitas sakral tersebut kalau dapat hubungkan satu sama lain dapat membentuk satu garis lurus. Apalagi, pihak kerton mempekerjakan kuncen (juru kunci) di kedua tempat sakral tersebut.

Apakah yang menyebabkan kedua tempat itu menjadi sakral? Secara rasional akan sulit kita mendapatkan jawabannya yang tepat. Namun, kata kunci dari kedua entitas tersebut adalah; kedua-duanya merupakan batas teritorial dari wilayah administartif keraton. Budiman Sudjatmiko dalam pengantar buku (Putranto: 2002) menyatakan bahwa penyakralan kedua tempat tersebut sesungguhnya bermuatan politis. Proses penyakralan tersebut bermula saat Kesultanan Mataram terlibat konflik dengan kerajaan lain dan juga penjajah dari negeri Eropa. Proses penyakralan tersebut, bermakna bahwa pada entitas sakral tersebut bersemayam ‘supernatural being’ (mak lampir, nyiloro kidul) yang akan melindungi wilayah Jojga dari gangguan darat maupun laut. Dengan keyakinan seperti itu diharapkan masyarakat dapat beraktifitas secara tenang tanpa takut akan serangan dari pihak-pihak lainnya.

Dengan demikian, analisa Durkheim tentang konstuksi kesakralan diselenggarakan oleh kumunitas itu sendiri cukup tepat. Dalam hal ini, elit dari kraton Jogja mengonstuksi gunung Merapi dan Pantai Selatan sebagai suatu yang sakral, dan kosnstuksi itu diterima oleh masyarakatnya. Setelah kesakralan itu disematkan, maka ritual pun dilaksanakan; pemberian sesajen dan doa. Pada tahap selanjutnya, komunitas Jogja merasa menjadi satu kesatuan yang terintegrasi. Hal ini dapat dibuktikan dengan dukungan warga Jogja terhadap esksitensi kesultanan jika dihadap-hadapkan dengan isu demokratisasi.

Sumber:

Durkheim, Emile. 1975. The Elementary Form of Religious Life. New York

Putranto, Dwi. 2002. Kontroversi Konsep Ratu Adil dan Satrio Piningit: Saya Percaya, Saya Dapat. Jakarta: Grasindo.


Responses

  1. Hello Webmaster, I noticed that https://yudomahendro.wordpress.com/2011/10/05/dari-gunung-merapi-sampai-pantai-selatan-sebuah-analisa-sosiologi-agama/ is ranking pretty low for some keywords, this may be due to the new Google Panda update, or it could be due to a variety of other factors. I’m sure you already know about On-page SEO, where Google cares highly about proper formatting of various H1/H2/H3 tags, having your main keyword appear in the beginning of your post and having your post end with the keyword, along with having keyword related alt tags and very relevant LSI. However, you do not seem to have the proper Keywords or relevant Keywords in your posts and in the website. Right now you need a tool or plugin that will allow you to check on Keyword insights, search trends and check for backlink analysis and to find out your Keyword competition. To find a Keyword Plugin that combines both Keyword Research and has the ability as a Rank Checker is what WordPress Seo Keyword, please check out our 5 minute video.

  2. Great goods from you, man. Dari Gunung Merapi Sampai Pantai Selatan: Sebuah Analisa Sosiologi Agama | TOREHAN DAN CELOTEHAN I’ve understand your stuff previous to and you’re just extremely great. I really like what you have acquired here, really like what you’re stating and the way in which you say it. You make it enjoyable and you still care for to keep it smart. I can not wait to read much more from you. This is really a tremendous Dari Gunung Merapi Sampai Pantai Selatan: Sebuah Analisa Sosiologi Agama | TOREHAN DAN CELOTEHAN informations.

  3. I got what you mean, thanks for putting up. Woh I am glad to hit this website through google. Thanks For Share Dari Gunung Merapi Sampai Pantai Selatan: Sebuah Analisa Sosiologi Agama | TOREHAN DAN CELOTEHAN.


Leave a comment

Categories